~ Catatan penting, Catatan ringan dan Catatan indah ~

Monday, September 22, 2008

Sepucuk surat dari seorang ayah

Anakku sayang,
aku tuliskan surat ini atas nama rindu yang besarnya hanya Allah yang
tahu. Sebelum kulanjutkan, bacalah surat ini sebagai surat seorang ayah
kepada anaknya yang sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik
Tuhannya.

Anakku, menjadi ayah itu indah dan mulia.
Besar kecemasanku menanti kelahiranmu dulu belum hilang hingga saat ini.
Kecemasan yang indah karena ia didasari sebuah cinta. Sebuah cinta yang
telah terasakan bahkan ketika yang dicintai belum sekalipun kutemui.

Anakku, menjadi ayah itu mulia.
Bacalah sejarah Nabi-Nabi dan Rasul dan temukanlah betapa nasehat yang
terbaik itu dicatat dari dialog seorang ayah dengan anak-anaknya.
Meskipun demikian, ketahuilah Nak, menjadi ayah itu berat dan sulit.
Tapi kuakui, betapa sepanjang masa kehadiranmu disisiku, aku seperti
menemui keberadaanku, makna keberadaanmu, dan makna tugas kebapakanku
terhadapmu.

Sepanjang masa keberadaanmu adalah salah satu masa terindah dan paling
aku banggakan di depan siapapun. Bahkan dihadapan Tuhan, ketika aku
duduk berduaan berhadapan dengan-Nya.

Anakku, saat pertama engkau hadir, kucium dan kupeluk engkau sebagai
buah cintaku dan ibumu. Sebagai bukti bahwa aku dan ibumu tak lagi
terpisahkan oleh apapun jua. Tapi seiring waktu, ketika engkau sudah
makin beranjak dewasa, timbul kesadaranku siapa engkau sesungguhnya.
Engkau bukan milikku, atau milik ibumu Nak. Engkau lahir bukan karena
cintaku dan cinta ibumu. Engkau adalah milik Tuhan. Tak ada hakku
menuntut pengabdian darimu. Karena pengabdianmu semata-mata seharusnya
hanya untuk Tuhan.

Anakku, sedih, pedih dan terhempaskan rasanya menyadari siapa sebenarnya
aku dan siapa engkau.
Dan dalam waktu panjang di malam-malam sepi, kusesali kesalahanku itu
sepenuh-penuh air mata dihadapan Tuhan. Syukurlah, penyesalan itu
mencerahkanku.

Sejak saat itu, satu-satunya usahaku adalah mendekatkanmu kepada
pemilikmu yang sebenarnya.
Membuatmu senantiasa berusaha memenuhi keinginan pemilikmu. Melakukan
segala sesuatu karena-Nya, bukan karena aku dan ibumu.

Tugasku bukan membuatmu dikagumi orang lain, tapi agar engkau dikagumi
dan dicintai Tuhan.
Inilah usaha terberatku Nak, karena artinya aku harus lebih dulu memberi
contoh kepadamu dekat dengan Tuhan. Keinginanku harus lebih dulu sesuai
dengan keinginan Tuhan, agar perjalananmu mendekati-Nya tak lagi terlalu
sulit.

Kemudian kita pun memulai perjalanan itu berdua, tak pernah engkau
kuhindarkan dari kerikil tajam dan lumpur hitam. Aku cuma menggenggam
jemarimu dan merapatkan jiwa kita satu sama lain.

Saat engkau mengeluh letih berjalan, kukuatkan engkau karena kita memang
tak boleh berhenti.
Perjalanan mengenal Tuhan tak kenal letih dan berhenti, Nak. Berhenti
berarti mati, inilah kata-kataku tiap kali memeluk dan menghapus air
matamu, ketika engkau hampir putus asa.

Akhirnya anakku, kalau nanti, ketika semua manusia dikumpulkan dihadapan
Tuhan, dan kudapati jarakku amat jauh dari-Nya, aku akan ikhlas. Karena
seperti itulah aku didunia. Tapi, kalau boleh aku berharap, aku ingin
saat itu aku melihatmu dekat dengan Tuhan.
Aku akan bangga Nak, karena itulah bukti bahwa semua titipan bisa kita
kembalikan kepada pemiliknya.

Sources: - anonymous -

Artikel yang layak untuk dibaca dan sebagai seorang ayah tentunya
perasaan yang disampaikan tentu tidak jauh dari tulisan diatas. Apabila
ingin melihat artikel -artikel atau tulisan seperti diatas ini, bisa di
browse di www.muslimindonesia.net

Monday, September 08, 2008

Selamat Jalan Keponakanku Abia Naila Ananda

Sabtu, 6 September 2008, aku mendapat telpon dari papa kalau salah satu keponakanku, Abia Naila Ananda binti Rianto, usia 3 tahun, harus pergi kepangkuan illahi karena kecelakaan... terseret dari kuda tumpangannya di bilangan ITB, Bandung....

Ini disebabkan oleh adanya mobil yang menabrak Mang Kuda dan Kudanya... sehingga Abia terjatuh dan terseret kuda yang sedang bergerak dan luka cukup parah di dahi.

Kejadian terjadi pukul 11 siang, dan Abia akhirnya kembali ke pangkuan-Nya Sabtu, pukul 4 sore.

Walau aku tidak begitu mengenal terlalu dekat karena jarak dan waktu, namun aku merasakan kehilangan yang mendalam.

Minggu pagi aku berangkat ke Bandung untuk ikut prosesi Sholat Jenazah dan Pemakaman.
Ayah dan Ibunya cukup tegar untuk menerima itu semua. Walau sambil berjalannya waktu, kekuatan itu terlihat mulai pupus....

Mas Anto sempat membisikan ke papa ku kalimat "Maafin Anto ya Oom, Anto gak bisa jaga Abia"....

Prosesi pemakaman dilakukan di belakang rumah Mas Anto yang belum selesai. Kenapa? Karena akhir-akhir ini Abia sering bertanya "Kapan sih rumahku jadi?".

"Abia, Selamat jalan... Abia adalah matahari, dan akan selalu menerangi kami semua" kalimat penutup ini diucapkan Ayahnya setelah pemakaman...

Selamat Jalan Abia... Oom, Tante dan kakak-kakak dan semua keluarga selalu mendoakan yang terbaik untukmu.

Semoga Ayah, Ibu dan Adik kecilmu tetap sabar dan sayang kepada kamu.